CIAMIS, NewsTasikmalaya.com — Bau kandang menyengat, biaya pakan yang membumbung, dan limbah yang tak tertangani kerap menjadi hal yang menakutkan dalam dunia peternakan unggas. Namun di Desa Cikaso, Kecamatan Banjaranyar, Kabupaten Ciamis, seorang peternak perempuan bernama Sainah justru menjawab tantangan itu dengan solusi cerdas dan ramah lingkungan.
Dengan memadukan peternakan puyuh petelur dan budidaya maggot, larva dari lalat Black Soldier Fly (BSF), Sainah menciptakan sistem peternakan berkelanjutan yang hemat, bersih, dan efisien. Inovasi ini tidak hanya menurunkan biaya produksi, tapi juga membawa angin segar bagi lingkungan sekitarnya.
Peternakan puyuh identik dengan tantangan, tingginya ongkos pakan dan sulitnya mengelola limbah. Namun, Sainah melihat peluang di balik masalah itu. Ia mulai membudidayakan maggot menggunakan kotoran puyuh sebagai media tumbuh. Dalam waktu 10–12 hari, larva yang tumbuh dapat dipanen dan dijadikan pakan alternatif yang kaya protein.
"Maggot membantu mengolah limbah sekaligus menjadi pakan bergizi untuk puyuh. Dengan begini, saya bisa menekan biaya pakan tanpa menurunkan kualitas telur," ujar Sainah, Sabtu (10/5/2025).
Ia pun melakukan serangkaian uji coba selama tiga hingga enam bulan, hingga menemukan komposisi pakan ideal: 30% maggot, 70% pakan pabrikan. Hasilnya pun tidak main-main.
Sebelumnya, dari 4.500 ekor puyuh yang dipeliharanya, Sainah hanya mampu menghasilkan sekitar 36 kilogram telur per hari. Namun sejak menerapkan pakan berbasis maggot, angka itu melonjak menjadi 42 kilogram per hari. Selain lebih produktif, kandang pun jadi lebih bersih dan minim bau tak sedap.
"Dulu saya hanya punya 500 ekor. Sekarang sudah 4.500 ekor, dan semuanya sehat. Alhamdulillah, usaha ini makin berkembang," tambahnya.
Lebih dari sekadar efisiensi, inovasi Sainah menyentuh aspek keberlanjutan. Limbah tidak lagi menjadi sumber pencemaran, melainkan bagian dari ekosistem produktif. Konsep “Integrasi Ternak Puyuh dan Maggot” yang ia kembangkan menjadi contoh bahwa peternakan modern tak harus mengorbankan lingkungan.
Inovasi yang dilakukan Sainah bukan hanya soal efisiensi ekonomi, tetapi juga soal visi jangka panjang, dengan menciptakan model peternakan masa depan yang mandiri, bersih, dan berkelanjutan.
Sistem yang dinamainya “Rikrik Gemi” bukan sekadar strategi hemat biaya. Ia telah membuktikan bahwa inovasi berbasis kearifan lokal bisa menjadi jawaban atas persoalan besar di industri peternakan.
Kini, langkah kecil dari Cikaso itu menjadi inspirasi besar bagi banyak peternak lain di Indonesia yang ingin mengubah cara mereka beternak, yakni lebih cerdas, lebih bersih, dan lebih hijau.