BANJAR, NewsTasikmalaya.com – Ketegangan antara Pemerintah Kota Banjar dan komunitas Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) kembali mencuat, menyusul pemasangan spanduk larangan aktivitas keagamaan di salah satu rumah ibadah mereka, Rabu (11/6/2025). Aksi ini langsung menuai protes dari pihak jemaat yang menganggapnya sebagai pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara.
Spanduk bertuliskan larangan aktivitas tersebut dipasang di area dalam bekas bangunan Masjid Istiqomah, yang berlokasi di Lingkungan Tanjungsyukur, Kelurahan Hegarsari, Kecamatan Pataruman, Kota Banjar, Jawa Barat. Bangunan ini selama ini dikenal sebagai tempat ibadah komunitas Ahmadiyah setempat.
Ketua Tim Penanganan JAI Kota Banjar, Ahmad Fikri Firdaus, menyatakan bahwa pemasangan spanduk tersebut dilakukan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, yakni Peraturan Wali Kota Banjar Nomor 10 Tahun 2011 dan Keputusan Wali Kota Nomor 45/KPTS.155-Huk/2011, yang sejak lebih dari satu dekade lalu telah membekukan aktivitas JAI di wilayah tersebut.
"Ini bukan tindakan represif, tetapi langkah preventif untuk menjaga kondusivitas sosial. Spanduk kami pasang di dalam area bangunan agar tidak menimbulkan provokasi atau gesekan di masyarakat," jelas Fikri.
Menurutnya, keputusan ini bertujuan mencegah potensi konflik horizontal dan memastikan ketertiban umum, sekaligus menjaga stabilitas di tengah masyarakat yang majemuk.
Sementara itu, perwakilan Jemaah Ahmadiyah Kota Banjar, Abdul Hafid, menyayangkan keputusan tersebut dan menganggapnya sebagai bentuk diskriminasi terhadap keyakinan mereka. Ia menilai pemasangan spanduk tersebut bukan hanya menghalangi kegiatan keagamaan, tetapi juga merupakan simbol intoleransi yang merusak nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia.
"Kami merasa hak kami sebagai warga negara telah dicederai. Negara seharusnya melindungi kebebasan beragama, bukan membatasi apalagi melarang," ujar Hafid.
Hafid juga menyinggung SKB Tiga Menteri tahun 2008, yang menurutnya tidak secara eksplisit melarang kegiatan ibadah Ahmadiyah, melainkan hanya mengatur pembatasan dakwah di ruang publik. Ia menegaskan bahwa komunitas Ahmadiyah berhak untuk menjalankan keyakinannya secara damai dan tertutup di tempat ibadah sendiri.
Tim Penanganan JAI Kota Banjar menegaskan bahwa tindakan ini masih dalam tahap evaluasi lebih lanjut. Bila terdapat alasan dan pertimbangan yang cukup kuat, tidak menutup kemungkinan spanduk larangan tersebut akan dicabut atau dikaji ulang bersama pihak terkait.
“Kami tetap terbuka untuk dialog. Jika ditemukan celah hukum atau masukan dari tokoh masyarakat dan lembaga negara, tentu bisa saja dilakukan revisi atau langkah lanjutan,” tambah Fikri.
Kota Banjar bukan satu-satunya daerah di Indonesia yang mengalami friksi terkait keberadaan Jemaah Ahmadiyah. Polemik serupa kerap terjadi di sejumlah daerah, menunjukkan bahwa tantangan dalam menjembatani regulasi lokal dengan prinsip kebebasan beragama yang dijamin konstitusi masih menjadi isu krusial.
Ke depan, baik pemerintah daerah maupun organisasi masyarakat sipil diharapkan dapat menciptakan ruang dialog yang adil, demi mencegah konflik horizontal dan memperkuat semangat toleransi antarumat beragama.