KOTA TASIKMALAYA, NewsTasikmalaya.com - Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Tinggi Hukum Galunggung (STHG) Tasikmalaya menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Urgensi dan Antisipasi RKUHAP Baru, di Ballroom Hotel Cordela, Sabtu (22/2/2025).
Diskusi ini bertujuan untuk mengeksplorasi urgensi revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), memahami implikasi perubahan terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia, serta menyusun rekomendasi kebijakan guna mengantisipasi penerapan regulasi baru tersebut.
FGD ini menghadirkan narasumber utama, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Padjadjaran (UNPAD) Prof. Dr. H. Nandang Alamsah Deliarnoor, S.H., S.Ap., M.Hum.,. Sementara itu, diskusi dipandu oleh Dr. H. Nana Suryana, S.H., S.Sos., M.H., selaku Direktur Pascasarjana STHG sekaligus inisiator kegiatan ini.
FGD yang diikuti oleh para akademisi fakultas hukum di Priangan Timur, praktisi hukum, dan mahasiswa. FGD yang berlangsung lebih dari dua jam tersebut menghasilkan beberapa kesimpulan yang nantinya akan diberikan ke DPR RI sebagai masukan dalam pembahasan RKUHAP 2023.
Akademisi Tasikmalaya, Dr. H. Nana Suryana menegaskan, bahwa revisi KUHAP merupakan suatu keharusan agar hukum acara pidana di Indonesia tetap relevan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.
"Reformasi KUHAP bukan hanya sekadar mengganti aturan lama, tetapi juga harus menjawab tantangan peradilan modern dengan tetap menjaga keseimbangan antara kepastian hukum, keadilan, dan perlindungan hak asasi manusia," ujarnya.
RUU KUHAP 2023 yang saat ini dalam tahap pembahasan di DPR RI membawa perubahan mendasar, salah satunya adalah penggantian lembaga praperadilan dengan Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP).
Menurut Dr. H. Nana Suryana, peran HPP dalam sistem peradilan pidana akan semakin luas, termasuk dalam menentukan kelayakan suatu kasus untuk disidangkan.
Meski membawa inovasi dalam sistem hukum acara pidana, RUU KUHAP 2023 juga menuai kritik dari berbagai kalangan. Salah satu yang menjadi sorotan adalah waktu penyelesaian pemeriksaan HPP yang dianggap terlalu singkat, serta wewenang HPP yang dinilai terlalu luas dalam mengontrol proses penyidikan dan penuntutan.
"Dihapuskanya lembaga praperadilan oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Di sini ada suatu pemusatan kekuasaan kepada hakim. Sedangkan hakim terbatas di dalam sumber daya manusia. Oleh karena itu, kontrol, apakah mungkin dalam waktu dua hari bisa memutuskan suatu perkara. Oleh karena itu, ini juga menjadi suatu masukan, apakah nanti waktunya bisa diperpanjang atau tidak? Jangan sampai terjadi adanya waktu pembatasan dua hari bisa menimbulkan masalah baru," ucapnya.
Selain itu, reformasi hukum acara pidana juga memperkenalkan mekanisme baru, seperti dominasi kejaksaan dalam proses peradilan. Dikatakan Dr. H. Nana Suryana, dalam RUU KUHAP 2023, kejaksaan diberikan kewenangan lebih besar dalam proses penuntutan, bahkan mencakup fungsi penyidikan yang sebelumnya menjadi kewenangan kepolisian.
Penyidikan yang dulunya menjadi tugas utama kepolisian kini diintegrasikan dengan kejaksaan. Hal ini memunculkan tantangan baru dalam hal koordinasi dan kesiapan sumber daya di kejaksaan.
"Kemudian, yang menjadi gusar juga penyidikan merupakan bagian penuntutan. Akan terjadi ketidakharmonisan antara lembaga APH (Aparat Penegak Hukum) baik polisi dengan kejaksaan. Ini harus distop. Dalam konteks perubahan KUHAP semua lembaga-lembaga APH, baik polisi, jaksa, maupun hakim, harus sama-sama menjadi suatu lembaga APH yang kokoh, seperti dalam teori triaspolitika, eksekutif, legislatif, dan yudikatif," jelasnya.
Dr. H. Nana juga menyoroti soal pengenalan alat bukti baru, yaitu bukti elektronik dan pengamatan hakim yang menjadi instrumen pembuktian yang sah dalam persidangan. Namun, beberapa pihak menilai belum ada regulasi jelas terkait mekanisme pengamatan hakim, sehingga berpotensi menimbulkan penyalahgunaan.
"Kalau tidak kita kritisi itu bahaya, pemusatan pengendalian suatu perkara. Akan terjadi suatu intervensi yang kontra produktif di dalam rangka proses penegakan hukum. Oleh karena itu, tanggung jawab sebagai akademisi untuk memberikan suatu pemikiran, pendapat, masukan kepada DPR agar tercipta suatu KUHAP yang baru, oke, kredibel, dan bisa menguatkan masing-masing dari pada lembaga penegak hukum," ungkapnya.
Selain itu, lanjut Dr. H. Nana, prinsip dominus litis, yang memberikan kewenangan penuh kepada kejaksaan dalam menentukan apakah suatu perkara dilanjutkan atau dihentikan, juga menjadi perdebatan. Beberapa pihak menilai diperlukan pengawasan yang lebih ketat agar prinsip ini tidak disalahgunakan.
Melalui FGD ini, para akademisi dan praktisi hukum berharap dapat memberikan masukan akademik yang konstruktif bagi penyusunan regulasi baru. "Kita sebagai akademisi punya kewenangan untuk memberikan sumbangsih karena memang keterbatasan suatu waktu sehingga kita secara proaktif memberikan suatu pemikiran-pemikiran, masukan-masukan ke DPR bahwa ini hal-hal yang perlu menjadi suatu bahan kajian DPR dalam konteks penyusunan."
"Kita secara inisiatif sendiri memberikan suatu draf, suatu masukan ke DPR dalam rangka untuk membahas daripada rancangan undang-undang KUHAP baru. Kita Inisiatif sendiri sebagai perwakilan dari akademisi di wilayah Priangan Timur bekerja sama dengan para praktisi hukum, Peradi, untuk memberikan suatu pemikiran-pemikiran yang positif, konstruktif dalam menciptakan RUU yang kredibel," pungkas Dr. H. Nana.
Hasil diskusi ini nantinya akan dirumuskan dalam bentuk rekomendasi yang akan diajukan kepada Badan Legislasi DPR RI sebagai bahan pertimbangan dalam proses legislasi.
Peserta FGD ini terdiri dari mahasiswa dan dosen STHG, alumni Pascasarjana STHG, akademisi dari Universitas Galuh (UNIGAL) Ciamis, dosen Universitas Mayasari Bhakti (UMB), serta praktisi hukum dan perwakilan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dari wilayah Kota Tasikmalaya dan sekitarnya.
Dengan adanya diskusi ini, diharapkan revisi KUHAP yang tengah dibahas dapat menghasilkan sistem peradilan pidana yang lebih adil, efektif, dan mampu menghadapi tantangan hukum di masa depan.